Saat kita menghadiri festival meriah di Jepang atau menonton berbagai seni pertunjukan tradisional seperti rakugo (stand-up comedy klasik Jepang), nōgaku (teater Noh), maupun kabuki, kita sering melihat sekelompok orang duduk di belakang panggung sambil memainkan alat musik.
Mereka ada yang meniup seruling, ada pula yang menabuh genderang. Tujuan mereka adalah menciptakan suasana dan memberikan iringan musik yang sesuai dengan situasi pertunjukan.
Bentuk pertunjukan semacam ini disebut “hayashi” (囃子). Kali ini, penulis akan memperkenalkan sejarah hayashi dan mengajak kamu mengenal lebih dalam bentuk musik tradisional yang satu ini.
Asal-usul Hayashi

Jika ditelusuri, asal-usul hayashi dapat dilacak hingga zaman Heian. Saat itu, hayashi digunakan dalam upacara keagamaan di kuil Shinto maupun dalam pertunjukan teater tradisional Noh.
Pada awalnya, alat musik yang digunakan hanyalah seruling (fue). Namun, seiring waktu, alat musik lain seperti genderang (taiko) dan shamisen mulai ditambahkan, membuat warna suara hayashi semakin kaya dan beragam.
Matsuri-bayashi: Musik yang Membangkitkan Semangat Festival

Musik pengiring yang digunakan dalam upacara keagamaan ini disebut matsuri-bayashi (musik festival). Tergantung pada acaranya, bentuk dan sebutannya pun berbeda-beda.
Misalnya, saat menyambut dewa di area upacara atau ketika roh ilahi turun, digunakan musik pengiring yang disebut kagura-bayashi.
Dari sini lahir berbagai jenis musik kagura, seperti Saibutsu Kagura dan Yutate Kagura, yang menonjolkan suasana sakral dan khidmat.
Sementara itu, hayashi yang dimainkan untuk mengiringi arak-arakan dewa (mikoshi parade) biasanya lebih meriah dan energik. Dari sinilah muncul berbagai bentuk dōchū-bayashi (道中囃子), serta yatai-bayashi (屋台囃子) yang dimainkan di atas kereta festival atau panggung berjalan.
Selain itu, ada pula odori-bayashi (踊囃子) yang mengiringi tarian di area festival, serta ta-nue-bayashi (田囃子) yang dimainkan saat menanam padi dengan tabuhan genderang sebagai penyemangat. Beragam bentuk matsuri-bayashi ini masih terus dilestarikan hingga kini.
Dua di antara yang paling terkenal adalah Kanda Matsuri dan Gion Matsuri, dua festival besar di Jepang yang masing-masing memiliki gaya khasnya sendiri, yaitu Kanda-bayashi dan Gion-bayashi.
Baca Juga:
Di mana Lokasi Asli Kuil Honnoji saat Ini? Pencinta Sejarah Jepang Harus Tahu
Musik Noh (Nōgaku Hayashi) dalam Pertunjukan Tradisional Jepang Membawa Penonton Tenggelam dalam Dunia Teater

Dalam kesenian tradisional Jepang, kita juga sering melihat berbagai jenis hayashi (iringan musik tradisional) dengan ciri khas masing-masing.
Misalnya dalam pertunjukan Noh, musik pengiringnya terdiri dari empat jenis alat musik utama: fue (seruling Noh), ōtsuzumi (gendang besar), kotsuzumi (gendang kecil), dan taiko (gendang besar datar).
Susunan empat alat musik ini menciptakan pola irama yang sangat terstruktur yang dikenal sebagai yojōshi (empat ketukan).
Bentuk penampilannya pun beragam, seperti suhayashi (iringan musik tanpa tarian) atau maihayashi (iringan musik untuk tarian).
Jika dibandingkan dengan matsuribayashi (musik festival), hayashi dalam Noh terasa jauh lebih formal dan penuh aturan.
Bermula dari Noh hayashi, unsur musik ini kemudian berkembang dan diadaptasi ke berbagai kesenian tradisional Jepang lainnya.
Misalnya dalam Kabuki, selain alat musik perkusi, ditambahkan juga shamisen (alat musik petik berdawai tiga), menciptakan gaya khas yang dikenal sebagai Kabuki-bayashi.
Bahkan dalam pertunjukan rakugo (cerita tunggal) atau manzai (komedi berpasangan) di panggung yose, terdapat elemen musik pengiring sederhana yang disebut yose-bayashi, yang berfungsi untuk memperkaya suasana pertunjukan.
Hayashi: Musik yang Telah Menjadi Bagian dari Jiwa Jepang
Seiring perjalanan sejarah, hayashi telah menjadi elemen penting dalam berbagai pertunjukan dan festival Jepang.
Bentuk musik tradisional yang penuh semangat dan berwibawa ini kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Jepang.
Baik suara seruling yang lembut, dentuman taiko yang menggetarkan, maupun petikan shamisen yang menenangkan — semuanya telah melekat dalam ingatan kolektif masyarakat Jepang dan menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.



