Edit Content

Follow Social Media Kami

Mengapa Orang Jepang Jarang Memilih Persalinan Epidural?

Table of Contents

Di era modern dengan kemajuan teknologi medis, lebih dari 70% ibu hamil di negara-negara Barat memilih persalinan dengan epidural (tanpa rasa sakit). Namun di Jepang, jumlahnya masih kurang dari 10%. Mengapa bisa begitu?

Pada Juli tahun ini, Prefektur Kochi mencatat kasus pertama persalinan tanpa rasa sakit, sehingga kini metode ini resmi tersedia di seluruh prefektur Jepang.

Namun yang mengejutkan banyak orang, ada wilayah di Jepang yang baru pada tahun 2025 memiliki kasus pertama persalinan epidural. Hal ini pun memicu diskusi hangat di kalangan netizen.

Faktanya, persalinan dengan epidural masih belum umum di Jepang. Salah satu alasannya, yaitu minimnya jumlah rumah sakit bersalin yang mampu melaksanakan metode tersebut.

Untuk persalinan dengan epidural dibutuhkan dokter anestesi. Itu karena prosedurnya menggunakan obat bius untuk mengurangi rasa sakit. Metode ini memiliki risiko komplikasi tertentu dan rumah sakit juga harus dilengkapi fasilitas khusus.

Sayangnya, rumah sakit dengan fasilitas lengkap lebih banyak terkonsentrasi di kota besar. Jadi, ibu hamil di Jepang yang ingin melahirkan dengan epidural harus pergi ke rumah sakit di kota dengan biaya yang tidak murah.

Ditambah biaya perjalanan dan persalinan, totalnya menjadi beban besar, sehingga metode ini sulit menjadi pilihan utama ibu hamil di Jepang.

Prefektur Kochi sendiri adalah salah satu daerah dengan angka migrasi keluar paling tinggi. Selain tingkat kelahiran yang sangat rendah, tenaga medis di sana juga terbatas.

Oleh karena itu, keberhasilan Kochi melaksanakan persalinan tanpa rasa sakit menjadi hal yang cukup menggembirakan.

Baca Juga:

Pandangan Tradisional Jepang tentang “Ibu yang Baik”

Alasan lain datang dari budaya tradisional dan kesenjangan gender. Pada tahun 2024, seorang aktor pria Jepang terkenal sempat menanggapi seorang penggemar yang hendak melahirkan.

Melalui media sosialnya, ia  menyarankan penggemar tersebut agar manja pada suami agar diizinkan memilih persalinan dengan epidural” (旦那様に無痛おねだりするか). Ucapannya langsung menuai kritik.

Aktor tersebut kemudian meminta maaf di media sosial dan mengatakan akan memberi semangat untuk penggemarnya itu.

Namun, kata-kata aktor tersebut memicu diskusi soal ketidaksetaraan gender di Jepang, juga tentang pandangan tradisional bahwa seorang ibu harus menanggung sakit melahirkan agar bisa mencintai anaknya dan dianggap “ibu yang baik”.

Ungkapan seperti “Anak yang dilahirkan dengan rasa sakit itu lebih menggemaskan (お腹を痛めて産んだ子はかわいい)” atau “Hanya dengan merasakan sakit melahirkan seorang wanita bisa menjadi ibu sejati (産みの苦しみを味わえば真の母親になれる)” masih banyak diyakini.

Kombinasi keterbatasan fasilitas medis dan pandangan tradisional inilah yang membuat persalinan epidural jarang dipilih oleh ibu hamil di Jepang.

“Ini ada kaitannya dengan rendahnya posisi perempuan di Jepang… Ada nilai umum bahwa perempuan seharusnya menanggung penderitaan, ditambah masalah obstetri yang sering diabaikan dan dimarginalkan.”

Media Jepang juga pernah melaporkan bahwa karena kekurangan obat bius secara nasional, beberapa rumah sakit kanker mempertimbangkan membatasi uji klinis dan operasi kanker usus besar. Kemungkinan juga ada pembatasan pada persalinan dengan epidural, yang memicu sindiran dari netizen.

“Ada penyakit yang sebenarnya bisa ditahan tanpa anestesi, jadi kenapa malah membatasi epidural? Kalau mau menanggulangi masalah rendahnya angka kelahiran, justru seharusnya mendorong metode ini. Mengatakan bahwa wanita baru dewasa kalau bisa menahan sakit? Jangan bercanda, wanita bukan barang. Sudahlah, aku pun jadi malas punya anak di dunia sampah seperti ini.”

Baca Juga:

Mengapa Orang Jepang Selalu Minum Air Dingin Bahkan saat Menstruasi?

Perdebatan Netizen Jepang tentang Persalinan Epidural

Soal persalinan dengan epidural, banyak netizen berbagi pengalaman:

“Anak pertama dan ketiga saya lahir normal! Dokter kandungan memang beberapa kali menanyakan apakah saya yakin tidak ingin epidural. Tapi saya tidak menyesal. Memang sakit sekali, tapi rasa pencapaian dan harunya berbeda dengan anak kedua yang lahir lewat epidural.”

“Saya bahagia bisa melahirkan normal. Sulit dimengerti kenapa orang yang pakai epidural malah bertanya kenapa saya memilih normal. Kalau saya pakai epidural, mungkin saya harus menjalani vakum dan anak saya berisiko pendarahan otak. Memang sakit, tapi saya tidak menyesal sama sekali.”

“Di negara maju, persalinan dengan epidural sudah umum. Hanya Jepang yang justru mengagungkan persalinan alami. Bagi yang belum pernah, membayangkan menahan sakit berjam-jam saja sudah menakutkan. Bahkan ada yang meninggal dalam prosesnya. Epidural bisa mengurangi beban ibu sekaligus bermanfaat untuk bayi. Harusnya dipromosikan lebih luas.”

“Saya melahirkan dua kali. Anak pertama lahir normal, sakitnya luar biasa sampai saya beberapa kali pingsan. Anak kedua saya lahirkan dengan epidural di Rumah Sakit Sanno, dan tetap merasakan momen haru melahirkan. Saya makin yakin bahwa ucapan soal ‘ibu sejati hanya lahir dari rasa sakit’ itu bohong belaka—itu hanyalah warisan leluhur yang dipaksa menanggung penderitaan.”

“Belakangan ini, Tokyo memberikan subsidi untuk persalinan dengan epidural sebagai kebijakan menanggulangi penurunan angka kelahiran. Sayangnya, masih banyak orang yang menganggap epidural sebagai sesuatu yang ‘mewah’.”

Apakah Persalinan Epidural akan Jadi Arus Utama di Jepang?

Menurut data, saat ini hanya sekitar 10% ibu hamil di Jepang yang memilih persalinan dengan epidural. Bagaimana menurutmu, lebih baik melahirkan secara alami atau dengan bantuan epidural? Apakah di masa depan metode ini bisa menjadi pilihan utama di Jepang?

Share Postingan Ini!

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest